Sungguh
aku tidak menyangka bahwa perselingkuhanku dengan Mas Budi, yang menurutku
sudah tak tercium oleh siapapun, ternyata malah membawaku pada sebuah masalah.
Diam-diam ada seseorang yang mengetahui bahwa aku telah melakukan
perselingkuhan dengan laki-laki lain. Parahnya orang itu adalah orang dekat
suamiku. Benar. Orang itu adalah Arif.
Beginilah
cerita mulanya.
***
“Selamat malam.”
Sebuah
sms tiba-tiba masuk. Aku melihat pengirimnya ternyata adalah nomor baru. Karena
aku termasuk orang yang tak suka meladeni bila ada telepon atau pesan dari
nomor baru, maka aku abaikan pesan tersebut. Namun, beberapa hari kemudian
nomor itu kembali mengirim pesan. Tetap saja tak kuladeni.
“Kenapa tidak membalas pesanku?”
Lagi-lagi
aku tak mengacuhkannya. Namun, dia tetap tak mau menyerah. Kini pesan darinya
membuatku sangat terkejut.
“Oke kalau tidak mau membalas. Tapi ini soal kamu dan tukang
kayu itu.”
Deg.
Jantungku terasa seperti langsung berhenti. Siapa orang ini? Bagaimana dia bisa
tahu soal aku dan Mas Budi? Karena penasaran aku pun membalas pesan itu.
“Maaf.
Ini siapa?”
Lama
aku menunggu jawaban pesannya. Bahkan hampir dua jam dia juga tidak menjawab.
Akhirnya aku putuskan untuk menelponnya langsung. Aku tak mungkin membiarkan
masalah ini.
Setelah
kutelepon, akhirnya si pemilik nomor baru itu mengangkat.
“Halo.
Ada apa, Bu?”
“Maaf.
Kamu siapa? Lancang sekali sms seperti itu pada saya.”
Dia
tergelak. “Saya tidak lancang. Saya bicara apa adanya. Benar, kan?”
Tunggu.
Sepertinnya saya tidak asing dengan suara ini. “Jawab kamu ini siapa?”
“Ibu
tidak kenal saya? Padahal saya sering datang ke rumah ibu.”
Suara
ini… “Arif?”
Arif
hanya tertawa. Tawanya menandakan sebuah kemenangan. Kepuasana. Kurang ajar.
“Bagaimana
kamu bisa tahu?”
“Gampang
saja, bu. Bagaimana mungkin ibu bisa lama sekali untuk membuka pintu, sementara
di dalam rumah ibu ada laki-laki lain? Semua orang pasti menduga sudah terjadi
apa-apa.”
“Tapi
bisa saja kan saya sedang ada di dapur?”
“Benar.
Tapi wajah ibu tidak sedang dari dapur.”
Aku
terdiam mendengar jawabannya. Sebegitu puaskah diriku saat itu sehingga tampak
sekali dari mimic mukaku?
“Ibu
tahu tidak? Karena mencium ada ketidakberesan, maka saya berniat untuk
menyelidikinya. Saya cepat-cepat pergi ke Pak Kades lalu setelah itu meminta
ijin untuk pulang sebentar. Ibu tahu ke mana saya pergi? Saya kembali ke rumah
ibu. Saya ingin membuktikan kecurigaan saya. Dan, ternyata benar apa yang saya
khawatirkan. Saya melihat ibu bercinta dengan tukang kayu itu.”
“Kamu
mengintip?”
Dia
kembali tergelak. “Yang jelas sekarang rahasia ibu ada di tangan saya. Kartu as
ibu sudah saya simpan. Suatu waktu saya bisa membukanya. Di depan suami ibu.”
“Jangan
kurang ajar kamu. Kamu hanya punya kata-kata. Dan kata-kata tidak bisa dibuktikan.”
“Saya
tidak bodoh, Bu. Cukup buat saya beberapa foto. Saat ibu membuka baju,
berciuman, senggama, dan keluar kamar dengan bertelanjang bersama.”
Sial.
Sial. Sial. Bodoh sekali aku sampai tak bisa memperhitungkan segala risikonya.
Kini aku sudah tak bisa melakukan apa-apa.
“Jangan
sampai suamiku tahu soal ini.” Kataku.
“Tergantung,
Bu.”
“Tergantung
apa?”
“Saya
pikir tidak ada yang gratis di dunia ini.”
“Berapa
yang kamu butuh?”
Dia
tertawa. “Sayangnya saya tidak butuh uang.”
“Lalu,
apa?” tanyaku penasaran.
“Minggu
depan suami ibu ke luar kota. Ada sosialisasi untuk kepala desa se-provinsi.”
Aku
tidak mengerti dengan ucapannya. “Lalu, apa hubungannya?”
“Rupanya
ibu tidak mengerti ya? Mungkin ibu butuh teman saat suami pergi.”
Sialan.
Rupanya dia benar-benar memanfaatkanku. “Tidak. Aku tidak mau.”
“Tidak
masalah. Saya bisa memberikan foto itu ke Pak Tono saat ini juga.”
Aku
benar-benar ingin meludahi muka Arif. Aku sungguh emosi padanya. Namun, di sisi
lain aku tak bisa melakukan apa-apa. Kapan saja dia bisa mematikan diriku. Dan,
aku belum siap andai harus berpisah dengan Mas Tono. Aku belum siap untuk tidak
hidup dengan kemewahan yang aku punya.
“Bagaimana,
bu?” Tanya Arif karena mendengarku tidak menjawab.
“Kamu
minta berapa saja uang akan aku beri. Tapi tidak dengan itu.”
“Baiklah.
Itu sama aja ibu menolaknya. Ya sudah kalau begitu.”
Arif
pun menutup teleponnya tiba-tiba.
***
Kalau
dipandang, menurutku Arif juga lumayan tampan. Badannya tiggi dengan berat
ideal. Dia senang bermain bola voli. Kadang bila ada pertandingan di desa, dia
selalu saja berpartisipasi. Usianya sekitar 26 tahunan. Dia belum menikah namun
sudah bisa hidup mandiri. Kalau Mas Tono lagi banyak kerja, biasanya dia datang
ke rumah untuk membantu. Selama aku kenal dengannya, aku tak melihat gelagat
dia bakal meminta hal seperti “itu” padaku.
Melihat
kartuku yang sudah ada di tangannya, maka tidak ada cara lain selain menerima
permintannya. Namun, aku masih tetap berat untuk menerimanya. Bukan karena aku
takut mengkhianati suamiku lagi, melainkan aku sudah berjanji dengan Mas Budi.
Aku sudah memintanya untuk menemaniku selama suamiku pergi. Tapi, setelah ada
Arif, aku terpaksa harus membatalkannya.
Mulanya
aku ingin bercerita pada Mas Budi mengenai permintaan Arif ini. Namun, aku kembali
berpikir bahwa Mas Budi tidak akan tinggal diam. Pasti dia akan melakukan
sesuatu pada Arif mengingat bahwa Mas Budi sudah menganggapku seperti istrinya.
Aku tidak mau hal itu terjadi. Bisa-bisa namaku juga terseret. Akhirnya, aku
terpaksa harus mengabaikan Mas Budi.
“Baiklah.
Aku terima permintaan kamu. Tapi jangan sampai Mas Tono tahu.”
“Terima
kasih, Bu. Sampai jumpa di ranjang.” Begitu jawabnya. Benar-benar kurang ajar.
Malam
di mana Mas Tono pergi pun tiba. Aku makin deg-degan. Astaga, aku akan menikmati
malamku dengan laki-laki lain, pikirku. Aku akan kembali mengkhianati suamiku.
Dan, aku akan digagahi oleh seorang perjaka.
Pukul
12 malam, Arif mengirim pesan bahwa dia sudah ada di belakang rumah. Aku segera
membukan pintu belakang. Muncullah Arif yang mengenakan jaket kulit hitam dan
celana jeans.
“Maaf
lama,” katanya.
Kita
pun beranjak ke ruang dan duduk bersama. Aku menawarkan the padanya namun dia
menolak.
“Sudah
lama lama aku menginginkan ibu,” katanya memecah keheningan.
“Maksudmu?”
“Sudah
lama aku suka sama ibu. Ibu cantik dan menggairahkan bagi laki-laki.”
Diam-diam
aku suka dengan pujian yang diucapkannya. Tak kulihat ternyata Arif sudah duduk
di sampingku. Dekat sekali denganku.
“Akhirnya
malam ini tiba juga,” katanya berbisik di telingaku.
Bibirnya
mulai menelusuri telinga hingga tengkukku. Ini membuat libidoku naik. Tak hanya
itu dia juga mulai menggunakan lidahnya. Makin terbuailah diriku. Tangannya
meriah wajahku dan menghadapkanku padanya. Dia pun langsung menempelkan
bibirnya di bibirku. Langsung melumat bibirku. Cukup lama aku pasif sebelum
akhirnya juga turut dalam adegan lumat-melumat itu.
Sambil
tetap melumat bibirku, tangannya mulai menggerayangi bagian dadaku. Diremasnya
kedua payudaraku yang masih terbungkus pakaian. Setelah puas dengan lumatannya,
kini ciumannya turun ke leherku. Dijilatinya leherku dengan ganasnya. Bahkan
dia menyupangku dan menyisakan bekas warna merah di sana.
Tangannya
mulai meraba turun ke bagian paha lalu beralih ke selangkanganku.
Dielus-elusnya bagian sensitifku itu dan membuatku mendesah-desah. Sementara
bibirnya masih terus bermain di leherku. Aku merasa sudah banyak cairan yang
kukeluarkan lewat organ intimku lantaran permainan tangan Arif makin liar.
Ketika tangannya mulai mengangkat bagian bawah dasterku, aku menghentikannya.
“Di
kamar saja.” Ucapku. Aku langsung beranjak ke kamarku.
Setibanya
di kamar, Arif tak membuang waktu. Dia langsung membaringkan dan menindihku di
atas ranjang. Aku langsung diciumnya dengan buas. Tangannya langsung mengangkat
dasterku dan diraihnya vaginaku yang masih terbungkus CD. Karena makin terbakar
nafsu, tanpa sadar tanganku bergerilya ke bagian selangkangan Arif. Dari balik
celananya, aku merasakan batang kemaluannya sudah mengeras. Lumayan besar,
pikirku.
Arif
menyuruhku untuk segera membuka dasterku. Namun membiarkan CD dan BH-ku tetap
menempel. Dia berdiri di hadapanku yang berbaring di ranjang. Matanya menatap
nyalang bagai singa yang siap menerkam mangsa. Tiba-tiba dia juga mulai
melucuti pakaiannya sendiri. Tetapi, sama sepertiku dia menyisakan CD-nya
membungkus penisnya.
Aku pun
akhirnya bisa melihat dengan jelas tubuh Arif. Meski tak segagah Mas Budi,
namun tubuhnya tubuh terbentuk. Tampak padat sekali. Tentu saja yang paling
menyita perhatianku adalah gundukan di balik CD-nya. Terlihat besar sekali.
Arif kembali
menindihku. Kembali menciumiku dari mulut lalu turun ke dadaku. Dia pun mulai
melepas perlahan BH-ku. Maka terpampanglah dua bukit indah milikku. Tak mau
banyak membuang waktu, Arif langsung melahapnya. Mulutnya langsung mencaplok
payudaraku. Dilahapnya secara bergantian kiri dan kanan. Kadang-kadang puting
susuku juga dijilati dengan lidahnya. Bahkan terkadang juga digigitnya.
“Oh…oh…oh…”
desahaku menikmati sentihan Arif.
Sementara
Arif sibuk dengan susuku, tanganku mencoba untuk bergerilya kembali ke
selangkangan Arif. Kuremas-remas penisnya dari luar CD-nya. Terasa sekali kalau
penis itu sudah mengeras dengan sempurna. Dari rabaanku, kuduga kalau penisnya
juga lumayan besar. Karena sudah dikuasai oleh nafsu, tangaku tanpa terasa
sudah menyelinap masuk ke balik CD Arif. Tanganku sudah menyentuh penisnya. Benar
dugaanku bahwa penisnya juga lumayan besar. Aku pun mulai mengocoknya perlahan.
Tanpa diduga
tiba-tiba Arif bangun dan segera melepas CD-nya. Penisnya langsung mencuat di
hadapanku. Bila dibandingkan dengan Mas Budi, tentu masih kalah. Kalau dengan
suamiku, aku lebih suka milik Arif. Dia juga turut melepas CD yang masih
kukenakan. Alhasil, kami berdua pun sama-sama telanjang. Lalu, Arif mencoba
untuk membuka pahaku dan mengarakan penisnya ke vaginaku.
Ah,
mungkin karena belum bercinta sebelumnya Arif ingin cepat-cepat, pikirku.
Dan,
benar dugaanku. Dia langsung mendorong penisnya untuk segera masuk.
“Rif…”
rintihku ketika Arif mendorong penisnya. Karena belum berpengalaman, gerakan
Arif tak sehalus Mas Budi. Gerakan mendorongnya agak kasar.
Arif terus
mencoba memasukkan penis dan akhirnya…jleb. Masuklah kepala penis itu. Arif terus
melakukan dorongan agar penisnya semakin masuk ke dalam. Dia memaju-mundurkan
pantatnya. Perlahan-lahan dan lama kelamaan semakin cepat.
“Oh…oh…Rif…terussss…”
Arif tak
bersuara apa-apa. Dia focus dengan gerakannya menggenjotku. Tangannya meraih
kedua payudaraku dan meremasnya. Setelah itu payudaraku juga kembali dilahapnya
sedangkan gerakan pantatnya tidak berhenti. Justru semakin cepat.
“Rif…oh…”
aku merintih. Kubelai-belai rambut Arif. “Enak…sayaang…”
Tetap tidak
ada jawaban darinya. Malah kurasakan gerakannya semakin cepat saja. Aku pun
merasa pertahananku akan runtuh. Dan, benar saja tak lama kemudian aku mencapai
orgasmeku.
“Riiiiiffff…”
kataku sambil meremas rambut Arif.
Tak lama
setelah itu, tiba-tiba tubuh Arif menegang. Genggamannya di lenganku terasa
kuat sekali. Dia pun membenamkan penisnya dalam-dalam dan kurasakan semprotan
spermanya. Banyak sekali bahkan sampai ada yang meleleh lewat vaginaku.
Arif langsung
rebah di sampingku. Dia Nampak kelelahan. Kami berdua pun tertidur.
Saat kami
bangun, jam menunjukkan pukul 9 pagi. Ah, rupanya senggama semalam membuat kami
kelelahan. Kulihat Arif masih terlelap di sampingku dengan kondisi masih
bertelanjang. Lucu juga melihatnya dengan kondisi seperti itu. Apalagi penisnya
yang sedang ikut terlelap.
Kupandangi
wajah Arif. Ternyata dia terlihat sangat tampan jika sedang tertidur seperti
itu. Wajahnya tampak sangat polos meskipun sebenarnya dia juga sedikit kurang
ajar. Tapi aku tetap suka dengannya. Setidaknya aku bisa menikmati
keperjakaannya.
Setelah
membangunkan Arif, aku pun langsung beranjak ke kamar mandi. Tanpa diduga Arif
menyusul dan kami mandi berdua. Tentu saja juga melanjutkan percintaan semalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar