Sabtu, 19 Desember 2015

Bor Listrik Mas Budi


Sudah sejak lama aku mengangumi sosok mas Budi. Baru-baru ini Bu Ami, wanita yang sering membantuku di rumah, menceritakan tentang mas Budi. Dia bercerita padaku bahwa suatu petang (tapi belum terlalu gelap) dia berjalan ke belakang rumah untuk mengambil sesuatu. Tetapi, saat matanya menatap ke arah kamar mandi, dia dibuat terkejut dengan siapa yang berdiri di sana: mas Budi tengah memperbaiki handuknya dan posisinya menghadap ke arah Bu Ami. Tak ayal Bu Ami pun bisa melihat kemaluan milik mas Budi meski cuma sebentar.

“Duh, bu. Saya benar-benar kaget waktu itu,” katanya saat bercerita padaku. “Kontolnya gede banget, bu. Belum berdiri aja udah seperti itu. Apalagi pas tegang, bu.”

Aku jadi malu sendiri saat Bu Ami menceritakan itu. Yang terbayang olehku adalah kontol mas Tono, suamiku, yang selama ini, jujur, tak pernah memuaskanku.


Selain itu, Bu Amin juga pernah bercerita padaku kalau mantan istri mas Budi sering bercerita urusan ranjangnya. Dia bilang sering dibuat lemas dengan permainan mas Budi.

“Jujur, Bu,” kata Bu Ami, “kadang-kadang saya jadi kepengin digituin sama si Budi.”

“Hush! Udah, bu, udah.”

“Apa ibu sendiri gak penasaran?”

“Ah, Bu Amin ada-ada aja. Ya nggaklah. Mas Tono mau dikemanain?”

Tetapi, jujur dalam hatiku aku memang penasaran dengan cerita Bu Ami. Cerita itu membuatku menjadikan mas Budi sebagai objek saat aku bermasturbasi. Atau, saat suamiku sedang mencumbuku.

Sejujurnya, sebelum cerita dari Bu Ami aku sudah tertarik dengannya. Mas Budi adalah seorang duda beranak satu. Dia bercerai dengan istrinya sekitar satu tahun yang lalu. Kata orang, masalah yang membuatnya bercerai adalah karena si istri gemar berhutang ke sana ke mari. Mungkin mas Budi sudah tidak tahan. Dan, dia pun memilih meninggalkan istrinya serta membawa anaknya bersamanya. Sehari-hari dia bekerja sebagai tukang kayu. Dia pintar sekali membuat perabotan rumah tangga. Bahkan perabotan di rumahku, beberapa adalah buatan dirinya.

Untuk ukuran fisik, mas Budi masuk dalam kriteria idaman wanita. Badannya tinggi dan tegap. Kulitnya cokelat khas seorang pekerja. Wajahnya pun lumayan tampan dengan kumis tipis menghiasi bibirnya. Dia sangat ramah dan baik. Aku pernah beberapa kali bertemu dengannya dan dia tersenyum ramah kepadaku.

Dan, saat ini orang yang aku bicarakan, mas Budi, sedang berada di rumahku. Dia sedang memperbaiki salah satu pintu rumah yang rusak. Mas Tono memintanya untuk datang hari ini. Kebetulan hari ini Bu Ami tidak bisa datang dan mas Tono harus pergi rapat di kantor kecamatan karena tugasnya sebagai Kades. Maka, aku sendiri yang menyiapkan makanan untuk mas Budi.

Sambil membuat secangkir teh, aku membayangkan hal-hal apa yang bisa terjadi nantinya. Misalkan, tanpa sadar mas Budi mendekapku dari belakang. Atau, tiba-tiba dia mengatakan juga tertarik padaku. Ah, tapi segera kubuang jauh-jauh pikiran itu.

Makanan dan minuman pun selesai. Aku segera memberikannya pada mas Budi.

“Ini, mas, dimakan dulu, ya.”

“Iya, bu.” Jawabnya.

Aku bisa mencium bau keringatnya yang menguar. Bau khas laki-laki. Aku suka sekali. Tiba-tiba saja ada hal aneh yang mendera hatiku. Aku pun segera pergi ke kamar setelah berpamitan pada mas Budi.

Di dalam kamar aku coba menenangkan diriku. Aku coba mengontrol semuanya. Entah kenapa timbul pikiran buruk untuk menggoda mas Budi. Tiba-tiba aku jadi menginginkannya. Aku sendiri tak tahu bagaimana bisa diriku seperti itu. Apalagi ketika situasi sangat mendukung. Aku jadi berpikir, apakah ini sudah skenario alam agar hal ‘itu’ bisa terjadi?

Aku berdiri melangkah mendekati lemari. Aku membukanya dan kuambil sebuah handuk berwarna merah. Kubuka pakaianku satu per satu sampai tak bersisa. Aku pun langsung melilitkan handuk tersebut ke tubuhku. Aku memang sengaja memilih handuk itu, karena ukurannya yang sedikit kecil. Dengan begitu, handuk itu tidak akan menutupi tubuhku dengan sempurna. Handuk hanya mampu menutupi sedikit di bawah selangkangan. Handuk itu juga hampir tidak cukup untuk menutupi payudaraku yang cukup besar. Payudaraku seolah ingin melompat dari ikatan itu. Setelah selesai, aku pun melangkah ke luar kamar.

Ketika sampai di luar, aku melihat mas Budi masih sibuk dengan pekerjaannya. Dengan perlahan, aku pun mendekatinya.

“Mas, saya mau mandi dulu, ya,” ucapku padanya. Mas Budi tampak terkejut dengan suaraku yang tiba-tiba. Seketika dia terbelalak dengan keadaanku. Namun, segera dia menyembunyikannya. “Nanti kalau ada apa-apa, panggil saya aja.”

“Eh...eh...iya, bu.” Jawabya dengan terbata-bata.

Aku pun melangkah menuju kamar mandi.
***

Aku tidak menghabiskan waktu yang lama di kamar mandi. Memang aku sengaja. Setelah selesai, aku pun kembali ke kamar. Saat melewati mas Budi, dia kembali melirikku namun dia masih malu atau takut ketahuan olehku. Aku pun yakin kalau dia mulai masuk ke perangkapku.

Kini, aku akan menjalankan rencana selanjutnya. Aku akan berpura-pura kehilangan kunci lemari.

“Mas Budi,” Aku memanggilnya dari kamar. Tak lama kemudian, dia datang.

“Iya, Bu.”

“Ini, pak, bisa bantu saya buka lemari gak? Dari tadi saya buka kok gak bisa, ya?”

Mas Budi melangkah mendekatiku. Aku menyerahkan kunci yang kupegang padanya. Dia pun segera mencoba membuka lemari itu. Namun, setelah beberapa kali dia tak juga berhasil membukanya.

“Kayanya ini bukan kuncinya, bu.”

“Duh, trus kemana kuncinya ya?” kataku berpura-pura bingung. Aku mencoba mencari-cari di tempat tidur dan di bawah bantal. Lalu, aku mencoba mencari di laci dan hal itu memaksaku untuk sedikit menunduk. Kini, dengan posisi mas Budi yang berada di belakangku, dia pasti akan bisa melihat bagian belakangku. Sengaja aku mencari di tempat itu lebih lama agar mas Budi bisa melihatku. Aku ingin dia segera masuk dalam jebakanku.

Setelah cukup lama, aku pun berbalik badan. Aku pun bisa menangkap basah mas Budi yang sedang memperhatikanku dari belakang. Dia terlihat malu kemudian dia dengan cepat melangkah ke luar kamar. Aku segera mengejarnya ke luar. Saat berada di luar kamar, aku pun bisa menangkap tangan mas Budi.

“Mas Budi...” kataku.

Dia menatapku. Aku melihat nafasnya memburu. Kami pun bertatapan cukup lama. Sampai akhirnya, mas Budi menempelkanku di dinding dan dia langsung menyerang bibirku tanpa ampun. Dia mulai menciumiku. Awalnya aku hanya diam, tapi lama kelamaan aku pun mulai membalas lumatannya di bibirku.

Kami berciuman cukup lama. Sangat panas.

Tanpa terasa handuk yang melilit tubuhku sudah terjatuh ke lantai. Kini aku sudah sepenuhnya bertelanjang di depan Mas Budi. Sementara itu, ia masih terus melumat bibirku tanpa ampun. Kedua tangannya juga tak tinggal diam. Diremasnya kedua payudaraku.

Aku sendiri? Sudah barang tentu tak kusia-siakan kesempatan langka ini. Tanganku telah hilang di balik celana Mas Budi. Dari balik celananya, bisa kurasakan penis Mas Budi yang selama ini aku bayangkan. Yang aku idam-idamkan. Aku merasa penis itu sudah mulai mengeras.

Mas Budi mulai menghentikan ciumannya di bibirku, dan turun ke payudaraku. Dilumatnya kedua bukit sintalku itu. Seperti seorang bayi dia menyedot-nyedot kedua putingnya. Sementara tangannya turun ke bagian selangkanganku. Jari-jarinya mulai bergerak liar di sana. Dan, membuatku mendesah keenakan.

“Oh…Mas…Mas…”

Tanganku sendiri sudah keluar dari balik celana Mas Budi. Kini aku memegangi kepalanya.  Mas Budi masih terus melahap payudaraku. Tapi tak lama kemudia, dia menghentikan semua aktivitasnya. Dan, tiba-tiba membopong tubuhku ke kamar.

Aku pun dibaringkan di atas tempat tidur. Sedangkan Mas Budi melucuti celana yang dipakainya. Kini aku pun dapat melihat penisnya langsung. Penis yang membuatku sering bermasturbasi. Penis yang sering kubicarakan dengan Bu Ami – dan membuat kami seperti istri yang kesepian. Penis itu sungguh tampak gagah. Di pangkalnya tumbuh jembut yang sangat lebat dan hitam. Membuat penis itu terlihat makin sangar. Menurut perkiraanku penis itu memiliki panjang sekitar 17 cm dan berdiameter 4cm. Ah, bagaimana bisa orang pribumi macam dia memiliki kelamin seukuran itu?

Tapi, itu tak penting. Yang terpenting untukku adalah penis itu kini membuat vaginaku berkedut-kedut.

Setelah melepas celananya, Mas Budi merangkan di atas tubuhku. Dia pun langsung menindihku. Mulutnya kembali melumat bibirku, lebih ganas. Mungkin ia makin bernafsu. Penisnya yang besar menempel di atas perutku dan membuatku tak tahan untuk memegangnya. Kuraih penis itu dan ah…terasa hangat sekali. Bagaimana jika tenggelam di vaginaku?

Ciuman Mas Budi kembali turun ke payudara. Lalu, turun lagi ke perut dan tiba-tiba pahaku dibuka lebar-lebar. Apa mungkin dia….

Aku menutup kembali pahaku.

“Jangan, Mas…saya malu.” ucapku.

Jujur saja, aku tak pernah bagaimana rasanya ‘bibir bawahku’ dilumat. Suamiku tak pernah melakukannya. Memang aku mendengar dari beberapa cerita teman bahwa katanya seperti terbang di awang-awang. Meski penasaran, aku tetap merasa malu bila harus dibegitukan oleh lelaki. Apalagi, jujur, aku belum sempat mencukur bulu kemaluanku.

“Tidak apa-apa. Enak kok.” Sahut Mas Budi dan mencoba kembali membuka pahaku. Namun, aku tetap menolaknya dengan menggelengkan kepala.

Kulihat Mas Budi menyerah. Lalu, kulihat dia meraih penisnya sendiri dan kembali membuka pahaku.

“Mas…” Kukira dia akan tetap memaksaku.

“Tenang.”

Kulihat dia mulai mengarahkan penisnya menuju vaginaku. Kini aku pun membuka pahaku secar lebar-lebar. Begitu kepala penisnya menempel di bibir vaginaku, tubuhku langsung terasa seperti disengat listrik. Apalagi ketika Mas Budi mulai menggosok-gosokkan penisnya. Vaginaku makin teras gatal.

Aku pun mulai mendesah keenakan. “Mas…Bud…ah…”

Mas Budi terus mengosok-gosok bibir vaginaku dengan penisnya. Aku pun makin tak tahan agar penis itu segera dimasukkan.

“Mas…masukin…saya…gak…kuaat..”

Mendengar ucapanku, Mas Budi mulai mendorong perlahan penisnya. Terasa agak sedikit susah kepala penis itu untuk masuk, mungkin karena ukurannya yang besar. Apalagi selama ini vaginaku tak pernah dimasuki penis sebesar itu. Palingan hanya miliki suamiku yang sangat jauh ukurannya. Tapi, dengan sedikit hentakan dari Mas Budi, akhirnya kepala penis itu masuk.

“Ah…” Kurasakan kepuasan tersendiri.

Mas Budi tidak diam. Dia terus mendorong penisnya agar semakin masuk ke dalam. Dia mulai menggenjot tubuhku. Perlahan dan semakin lama semakin cepat.

“Mas…enaakk…mas…ah…oh…”

Terdengar suara Mas Budi memburu. Dia menundukkan badannya dan mencium kembali bibirku. Sementara genjotannya tak berkurang tenaganya. Kedua kakiku kulingkarkan di pinggang Mas Budi untuk memberi tekanan agar dia makin dalam menghujamkan penisnya.

Ciumannya kembali turun ke payudaraku. Kini dia kembali menjelma seorang bayi yang menetek pada ibunya. Kuremas-remas kepalanya menahan gejolak yang makin menjadi-jadi. Penisnya benar-benar seperti bor listrik yang mengorek-orek vaginaku. Bor yang siap membikin lubang vaginaku makin lebar.

“Mas…aku…”

Kurasakan diriku akan segera mencapai puncak. Mas Budi juga makin kuat menggenjot tubuhku. Penisnya benar-benar menghujam. Aku pun tak kuasa untuk membiarkan pertahananku jebol.

“Mas….oh…..” Kini aku telah orgasme. Orgasme pertama yang kucapai bersama lelaki lain.

Sementara itu Mas Budi masih  terus dengan gerakannya. Tanpa mengurangi kecepatan dan frekuensinya. Hingga akhirnya, genjotan itu makin keras dan Mas Budi mencengkeram seprai itu kuat-kuat. Aku pun merasakan spermanya muncrat di dalam rahimku. Hangat sekali.

Tubuh kami berdua pun melemas hingga akhirnya tertidur dengan keadaan yang tetap bertelanjang.

***

Bel rumah berbunyi.

Aku langsung tersentak. Bangun. Astaga, siapa yang datang, pikirku. Buru-buru aku membangunkan 
Mas Budi yang masih terlelap.

“Mas, Mas Budi. Bangun. Ada yang datang. Mas!!!”

Mas Budi pun terjaga. Dia juga langsung tersentak.

“Cepat pakai baju!”

Kami buru-buru pakai baju. Aku mengambil kembali bajuku yang sudah kuletakkan di keranjang cucian. Setelah itu aku menuju ke pintu depan dan Mas Budi kembali bekerja.

Setelah kubuka pintu, kulihat Arif, orang yang biasanya membantu suamiku di kantor desa.

“Oh, Dek Arif. Maaf lama. Ada apa?”

“Saya disuruh mengambil dokumen-dokumen oleh Bapak, bu.”

“Oh, baiklah. Dokumen apa aja?”

Setelah Arif menyebutkan semua, aku mengambil dokumen-dokumen itu ke dalam. Sementara Arif masih tetap berada di luar. Terdengar suara bor listrik Mas Budi yang sedang bekerja kembali.

“Ini.” Kuserahkan semua dokumen yang dibutuhkan.

“Oh ya, bu. Bapak pesan katanya nanti akan pulang malam.”

“Hmm..baiklah. Terima kasih.”

Setelah itu Arif pergi dan aku langsung buru-buru menutu pintu.

“Siapa?” Tanya Mas Budi saat aku kembali masuk.

“Arif, pembantu suamiku.”

Mas Budi menghentikan kegiatannya. Dia kembali mendekat ke arahku.

“Kenapa?” tanyaku.

“Aku belum puas.”

Aku tersenyum mendengar ucapannya. Aku menarik tangannya dan membawanya kembali ke dalam kamar. Kami pun kembali menghabiskan tenaga kami untuk bercinta. Kami benar-benar terpuaskan. Saling meraih orgasme yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Kami juga saling memandikan. Mas Budi menyabuniku dan aku menyabuninya. Sungguh kami benar-benar puas.

Bahkan, kami juga berjanji akan melanjutkan persenggamaan ini di luar. Aku mengajaknya untuk di hotel saja sambil jalan-jalan pergi ke kota. Tapi, Mas Budi menolak dan hampir tak percaya kalau dia menyarankan di rumahnya saja. Aku bilang kalau itu berbahaya.


Dia cuma menjawab, “Bukankah hal itu yang membuatnya makin berkesan?”         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar