Sudah sejak lama aku mengangumi sosok mas
Budi. Baru-baru ini Bu Ami, wanita yang sering membantuku di rumah,
menceritakan tentang mas Budi. Dia bercerita padaku bahwa suatu petang (tapi
belum terlalu gelap) dia berjalan ke belakang rumah untuk mengambil sesuatu.
Tetapi, saat matanya menatap ke arah kamar mandi, dia dibuat terkejut dengan
siapa yang berdiri di sana: mas Budi tengah memperbaiki handuknya dan posisinya
menghadap ke arah Bu Ami. Tak ayal Bu Ami pun bisa melihat kemaluan milik mas
Budi meski cuma sebentar.
“Duh, bu. Saya benar-benar kaget waktu itu,”
katanya saat bercerita padaku. “Kontolnya gede banget, bu. Belum berdiri aja
udah seperti itu. Apalagi pas tegang, bu.”
Aku jadi malu sendiri saat Bu Ami menceritakan
itu. Yang terbayang olehku adalah kontol mas Tono, suamiku, yang selama ini,
jujur, tak pernah memuaskanku.
Selain itu, Bu Amin juga pernah bercerita
padaku kalau mantan istri mas Budi sering bercerita urusan ranjangnya. Dia
bilang sering dibuat lemas dengan permainan mas Budi.
“Jujur, Bu,” kata Bu Ami, “kadang-kadang saya
jadi kepengin digituin sama si Budi.”
“Hush! Udah, bu, udah.”
“Apa ibu sendiri gak penasaran?”
“Ah, Bu Amin ada-ada aja. Ya nggaklah. Mas
Tono mau dikemanain?”
Tetapi, jujur dalam hatiku aku memang
penasaran dengan cerita Bu Ami. Cerita itu membuatku menjadikan mas Budi sebagai
objek saat aku bermasturbasi. Atau, saat suamiku sedang mencumbuku.
Sejujurnya, sebelum cerita dari Bu Ami aku
sudah tertarik dengannya. Mas Budi adalah seorang duda beranak satu. Dia
bercerai dengan istrinya sekitar satu tahun yang lalu. Kata orang, masalah yang
membuatnya bercerai adalah karena si istri gemar berhutang ke sana ke mari.
Mungkin mas Budi sudah tidak tahan. Dan, dia pun memilih meninggalkan istrinya
serta membawa anaknya bersamanya. Sehari-hari dia bekerja sebagai tukang kayu.
Dia pintar sekali membuat perabotan rumah tangga. Bahkan perabotan di rumahku,
beberapa adalah buatan dirinya.
Untuk ukuran fisik, mas Budi masuk dalam
kriteria idaman wanita. Badannya tinggi dan tegap. Kulitnya cokelat khas
seorang pekerja. Wajahnya pun lumayan tampan dengan kumis tipis menghiasi
bibirnya. Dia sangat ramah dan baik. Aku pernah beberapa kali bertemu dengannya
dan dia tersenyum ramah kepadaku.
Dan, saat ini orang yang aku bicarakan, mas
Budi, sedang berada di rumahku. Dia sedang memperbaiki salah satu pintu rumah
yang rusak. Mas Tono memintanya untuk datang hari ini. Kebetulan hari ini Bu
Ami tidak bisa datang dan mas Tono harus pergi rapat di kantor kecamatan karena
tugasnya sebagai Kades. Maka, aku sendiri yang menyiapkan makanan untuk mas Budi.
Sambil membuat secangkir teh, aku membayangkan
hal-hal apa yang bisa terjadi nantinya. Misalkan, tanpa sadar mas Budi
mendekapku dari belakang. Atau, tiba-tiba dia mengatakan juga tertarik padaku.
Ah, tapi segera kubuang jauh-jauh pikiran itu.
Makanan dan minuman pun selesai. Aku segera
memberikannya pada mas Budi.
“Ini, mas, dimakan dulu, ya.”
“Iya, bu.” Jawabnya.
Aku bisa mencium bau keringatnya yang menguar.
Bau khas laki-laki. Aku suka sekali. Tiba-tiba saja ada hal aneh yang mendera
hatiku. Aku pun segera pergi ke kamar setelah berpamitan pada mas Budi.
Di dalam kamar aku coba menenangkan diriku.
Aku coba mengontrol semuanya. Entah kenapa timbul pikiran buruk untuk menggoda
mas Budi. Tiba-tiba aku jadi menginginkannya. Aku sendiri tak tahu bagaimana
bisa diriku seperti itu. Apalagi ketika situasi sangat mendukung. Aku jadi
berpikir, apakah ini sudah skenario alam agar hal ‘itu’ bisa terjadi?
Aku berdiri melangkah mendekati lemari. Aku
membukanya dan kuambil sebuah handuk berwarna merah. Kubuka pakaianku satu per
satu sampai tak bersisa. Aku pun langsung melilitkan handuk tersebut ke
tubuhku. Aku memang sengaja memilih handuk itu, karena ukurannya yang sedikit
kecil. Dengan begitu, handuk itu tidak akan menutupi tubuhku dengan sempurna.
Handuk hanya mampu menutupi sedikit di bawah selangkangan. Handuk itu juga
hampir tidak cukup untuk menutupi payudaraku yang cukup besar. Payudaraku
seolah ingin melompat dari ikatan itu. Setelah selesai, aku pun melangkah ke
luar kamar.
Ketika sampai di luar, aku melihat mas Budi
masih sibuk dengan pekerjaannya. Dengan perlahan, aku pun mendekatinya.
“Mas, saya mau mandi dulu, ya,” ucapku
padanya. Mas Budi tampak terkejut dengan suaraku yang tiba-tiba. Seketika dia
terbelalak dengan keadaanku. Namun, segera dia menyembunyikannya. “Nanti kalau
ada apa-apa, panggil saya aja.”
“Eh...eh...iya, bu.” Jawabya dengan
terbata-bata.
Aku pun melangkah menuju kamar mandi.
***
Aku tidak menghabiskan waktu yang lama di
kamar mandi. Memang aku sengaja. Setelah selesai, aku pun kembali ke kamar.
Saat melewati mas Budi, dia kembali melirikku namun dia masih malu atau takut
ketahuan olehku. Aku pun yakin kalau dia mulai masuk ke perangkapku.
Kini, aku akan menjalankan rencana
selanjutnya. Aku akan berpura-pura kehilangan kunci lemari.
“Mas Budi,” Aku memanggilnya dari kamar. Tak
lama kemudian, dia datang.
“Iya, Bu.”
“Ini, pak, bisa bantu saya buka lemari gak?
Dari tadi saya buka kok gak bisa, ya?”
Mas Budi melangkah mendekatiku. Aku
menyerahkan kunci yang kupegang padanya. Dia pun segera mencoba membuka lemari
itu. Namun, setelah beberapa kali dia tak juga berhasil membukanya.
“Kayanya ini bukan kuncinya, bu.”
“Duh, trus kemana kuncinya ya?” kataku
berpura-pura bingung. Aku mencoba mencari-cari di tempat tidur dan di bawah
bantal. Lalu, aku mencoba mencari di laci dan hal itu memaksaku untuk sedikit
menunduk. Kini, dengan posisi mas Budi yang berada di belakangku, dia pasti
akan bisa melihat bagian belakangku. Sengaja aku mencari di tempat itu lebih
lama agar mas Budi bisa melihatku. Aku ingin dia segera masuk dalam jebakanku.
Setelah cukup lama, aku pun berbalik badan.
Aku pun bisa menangkap basah mas Budi yang sedang memperhatikanku dari
belakang. Dia terlihat malu kemudian dia dengan cepat melangkah ke luar kamar.
Aku segera mengejarnya ke luar. Saat berada di luar kamar, aku pun bisa
menangkap tangan mas Budi.
“Mas Budi...” kataku.
Dia menatapku. Aku melihat nafasnya memburu.
Kami pun bertatapan cukup lama. Sampai akhirnya, mas Budi menempelkanku di
dinding dan dia langsung menyerang bibirku tanpa ampun. Dia mulai menciumiku.
Awalnya aku hanya diam, tapi lama kelamaan aku pun mulai membalas lumatannya di bibirku.
Kami berciuman cukup
lama. Sangat panas.
Tanpa terasa handuk
yang melilit tubuhku sudah terjatuh ke lantai. Kini aku sudah sepenuhnya
bertelanjang di depan Mas Budi. Sementara itu, ia masih terus melumat bibirku
tanpa ampun. Kedua tangannya juga tak tinggal diam. Diremasnya kedua
payudaraku.
Aku sendiri? Sudah
barang tentu tak kusia-siakan kesempatan langka ini. Tanganku telah hilang di
balik celana Mas Budi. Dari balik celananya, bisa kurasakan penis Mas Budi yang
selama ini aku bayangkan. Yang aku idam-idamkan. Aku merasa penis itu sudah
mulai mengeras.
Mas Budi mulai
menghentikan ciumannya di bibirku, dan turun ke payudaraku. Dilumatnya kedua
bukit sintalku itu. Seperti seorang bayi dia menyedot-nyedot kedua putingnya.
Sementara tangannya turun ke bagian selangkanganku. Jari-jarinya mulai bergerak
liar di sana. Dan, membuatku mendesah keenakan.
“Oh…Mas…Mas…”
Tanganku sendiri sudah
keluar dari balik celana Mas Budi. Kini aku memegangi kepalanya. Mas Budi masih terus melahap payudaraku. Tapi
tak lama kemudia, dia menghentikan semua aktivitasnya. Dan, tiba-tiba membopong
tubuhku ke kamar.
Aku pun dibaringkan di
atas tempat tidur. Sedangkan Mas Budi melucuti celana yang dipakainya. Kini aku
pun dapat melihat penisnya langsung. Penis yang membuatku sering bermasturbasi.
Penis yang sering kubicarakan dengan Bu Ami – dan membuat kami seperti istri
yang kesepian. Penis itu sungguh tampak gagah. Di pangkalnya tumbuh jembut yang
sangat lebat dan hitam. Membuat penis itu terlihat makin sangar. Menurut
perkiraanku penis itu memiliki panjang sekitar 17 cm dan berdiameter 4cm. Ah,
bagaimana bisa orang pribumi macam dia memiliki kelamin seukuran itu?
Tapi, itu tak penting.
Yang terpenting untukku adalah penis itu kini membuat vaginaku berkedut-kedut.
Setelah melepas
celananya, Mas Budi merangkan di atas tubuhku. Dia pun langsung menindihku.
Mulutnya kembali melumat bibirku, lebih ganas. Mungkin ia makin bernafsu.
Penisnya yang besar menempel di atas perutku dan membuatku tak tahan untuk
memegangnya. Kuraih penis itu dan ah…terasa hangat sekali. Bagaimana jika
tenggelam di vaginaku?
Ciuman Mas Budi
kembali turun ke payudara. Lalu, turun lagi ke perut dan tiba-tiba pahaku
dibuka lebar-lebar. Apa mungkin dia….
Aku menutup kembali
pahaku.
“Jangan, Mas…saya
malu.” ucapku.
Jujur saja, aku tak
pernah bagaimana rasanya ‘bibir bawahku’ dilumat. Suamiku tak pernah
melakukannya. Memang aku mendengar dari beberapa cerita teman bahwa katanya
seperti terbang di awang-awang. Meski penasaran, aku tetap merasa malu bila
harus dibegitukan oleh lelaki. Apalagi, jujur, aku belum sempat mencukur bulu
kemaluanku.
“Tidak apa-apa. Enak
kok.” Sahut Mas Budi dan mencoba kembali membuka pahaku. Namun, aku tetap
menolaknya dengan menggelengkan kepala.
Kulihat Mas Budi
menyerah. Lalu, kulihat dia meraih penisnya sendiri dan kembali membuka pahaku.
“Mas…” Kukira dia akan
tetap memaksaku.
“Tenang.”
Kulihat dia mulai
mengarahkan penisnya menuju vaginaku. Kini aku pun membuka pahaku secar
lebar-lebar. Begitu kepala penisnya menempel di bibir vaginaku, tubuhku
langsung terasa seperti disengat listrik. Apalagi ketika Mas Budi mulai
menggosok-gosokkan penisnya. Vaginaku makin teras gatal.
Aku pun mulai mendesah
keenakan. “Mas…Bud…ah…”
Mas Budi terus
mengosok-gosok bibir vaginaku dengan penisnya. Aku pun makin tak tahan agar
penis itu segera dimasukkan.
“Mas…masukin…saya…gak…kuaat..”
Mendengar ucapanku,
Mas Budi mulai mendorong perlahan penisnya. Terasa agak sedikit susah kepala
penis itu untuk masuk, mungkin karena ukurannya yang besar. Apalagi selama ini
vaginaku tak pernah dimasuki penis sebesar itu. Palingan hanya miliki suamiku
yang sangat jauh ukurannya. Tapi, dengan sedikit hentakan dari Mas Budi,
akhirnya kepala penis itu masuk.
“Ah…” Kurasakan
kepuasan tersendiri.
Mas Budi tidak diam.
Dia terus mendorong penisnya agar semakin masuk ke dalam. Dia mulai menggenjot
tubuhku. Perlahan dan semakin lama semakin cepat.
“Mas…enaakk…mas…ah…oh…”
Terdengar suara Mas
Budi memburu. Dia menundukkan badannya dan mencium kembali bibirku. Sementara
genjotannya tak berkurang tenaganya. Kedua kakiku kulingkarkan di pinggang Mas
Budi untuk memberi tekanan agar dia makin dalam menghujamkan penisnya.
Ciumannya kembali
turun ke payudaraku. Kini dia kembali menjelma seorang bayi yang menetek pada
ibunya. Kuremas-remas kepalanya menahan gejolak yang makin menjadi-jadi.
Penisnya benar-benar seperti bor listrik yang mengorek-orek vaginaku. Bor yang
siap membikin lubang vaginaku makin lebar.
“Mas…aku…”
Kurasakan diriku akan
segera mencapai puncak. Mas Budi juga makin kuat menggenjot tubuhku. Penisnya
benar-benar menghujam. Aku pun tak kuasa untuk membiarkan pertahananku jebol.
“Mas….oh…..” Kini aku
telah orgasme. Orgasme pertama yang kucapai bersama lelaki lain.
Sementara itu Mas Budi
masih terus dengan gerakannya. Tanpa
mengurangi kecepatan dan frekuensinya. Hingga akhirnya, genjotan itu makin
keras dan Mas Budi mencengkeram seprai itu kuat-kuat. Aku pun merasakan
spermanya muncrat di dalam rahimku. Hangat sekali.
Tubuh kami berdua pun
melemas hingga akhirnya tertidur dengan keadaan yang tetap bertelanjang.
***
Bel rumah berbunyi.
Aku langsung
tersentak. Bangun. Astaga, siapa yang datang, pikirku. Buru-buru aku
membangunkan
Mas Budi yang masih terlelap.
“Mas, Mas Budi.
Bangun. Ada yang datang. Mas!!!”
Mas Budi pun terjaga.
Dia juga langsung tersentak.
“Cepat pakai baju!”
Kami buru-buru pakai
baju. Aku mengambil kembali bajuku yang sudah kuletakkan di keranjang cucian.
Setelah itu aku menuju ke pintu depan dan Mas Budi kembali bekerja.
Setelah kubuka pintu,
kulihat Arif, orang yang biasanya membantu suamiku di kantor desa.
“Oh, Dek Arif. Maaf
lama. Ada apa?”
“Saya disuruh
mengambil dokumen-dokumen oleh Bapak, bu.”
“Oh, baiklah. Dokumen
apa aja?”
Setelah Arif
menyebutkan semua, aku mengambil dokumen-dokumen itu ke dalam. Sementara Arif
masih tetap berada di luar. Terdengar suara bor listrik Mas Budi yang sedang
bekerja kembali.
“Ini.” Kuserahkan
semua dokumen yang dibutuhkan.
“Oh ya, bu. Bapak
pesan katanya nanti akan pulang malam.”
“Hmm..baiklah. Terima
kasih.”
Setelah itu Arif pergi
dan aku langsung buru-buru menutu pintu.
“Siapa?” Tanya Mas Budi
saat aku kembali masuk.
“Arif, pembantu
suamiku.”
Mas Budi menghentikan
kegiatannya. Dia kembali mendekat ke arahku.
“Kenapa?” tanyaku.
“Aku belum puas.”
Aku tersenyum
mendengar ucapannya. Aku menarik tangannya dan membawanya kembali ke dalam kamar.
Kami pun kembali menghabiskan tenaga kami untuk bercinta. Kami benar-benar
terpuaskan. Saling meraih orgasme yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Kami
juga saling memandikan. Mas Budi menyabuniku dan aku menyabuninya. Sungguh kami
benar-benar puas.
Bahkan, kami juga
berjanji akan melanjutkan persenggamaan ini di luar. Aku mengajaknya untuk di
hotel saja sambil jalan-jalan pergi ke kota. Tapi, Mas Budi menolak dan hampir
tak percaya kalau dia menyarankan di rumahnya saja. Aku bilang kalau itu berbahaya.
Dia cuma menjawab,
“Bukankah hal itu yang membuatnya makin berkesan?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar