Namaku Hendra, seorang pegawai di kantor
desa. Umurku 35 tahun dan sudah menikah, tetapi belum memiliki buah hati.
Istriku berumur 5 tahun lebih mudah dariku. Namanya Retno. Istriku memiliki
wajah yang cantik dan tubuh sintal yang aduhai.
Tentu saja dengan tubuh seperti itu, banyak
lelaki yang tergoda. Sudah sering aku mendapati pemandangan seperti itu.
Contohnya saja Pak Kades, yang sering kudapati memandangi bongkahan pantat
Retno sehabis menyuguhkan teh di meja. Juga Pak Jun, tukang ronda di desa yang
gemar menatap diam-diam payudara montok istriku. Dan, tentu masih banyak lagi
yang lainnya.
Istriku sendiri kurasa sudah tahu bahwa
dirinya sering menjadi pusat perhatian para lelaki desa. Bahkan kurasa juga dia
sangat menikmati dalam situasi seperti itu. Hal ini pernah beberapa kali aku
buktikan.
Pertama adalah kejadian di sungai. Karena
hidup di desa, kebanyakan dari kami belum memiliki kamar mandi. Kalau pun ada
mungkin hanya mereka yang kaya. Tetapi, kebanyakan kami memang lebih suka mandi
di sungai. Setiap sore istriku memang selalu pergi ke sungai bersama diriku.
Namun, sore itu aku tidak ikut lantaran kurang enak badan. Maka aku biarkan
istriku pergi sendiri. Biasanya istriku akan pulang sebelum jam setengah 5 sore,
tetapi entah kenapa istriku belum juga datang padahal jam sudah pukul 5. Karena
merasa khawatir, aku berinisiatif untuk menyusulnya ke sungai. Sungai di desaku
adalah tipe-tipe sungai di kaki gunung, sehingga harus turun melintasi tebing
terlebih dahulu. Saat itu suasana sudah sepi sekali. Banyak orang yang sudah
kembali ke rumah. Agar tak perlu turun, maka aku menengok isriku dari atas. Ah,
ternyata istriku masih ada di bawah. Tapi, tunggu! Dia tidak sendirian. Dia
bersama seseorang. Aku tidak bisa melihat siapa orang itu. Tapi, kurasa dia
seorang laki-laki.
Aku memilih untuk berganti tempat agar bisa
melihat siapa laki-laki lebih jelas. Setelah mendapat tempat yang pas, aku pun
tahu bahwa laki-laki itu adalah Pak Jun. Apa yang dia lakukan di sana? Kenapa harus
menunggui istriku mandi?
Pak Jun terlihat duduk di tepi sungai di
atas sebongkah batu besar. Sementara istriku, kulihat berada di tengah sungai
masih membasuh dirinya. Istriku hanya memakai sebuah sarung yang dililitkan ke
tubuhnya. Karena basah, sarung itu menempel di tubuhnya dan membuatnya makin
tercetak sempurna. Tampaknya mereka berbincang-bincang, namun aku tidak bisa
mendengar karena arus sungai yang terlampau deras. Tidak lama kemudian, istriku
beranjak dan segera ke tepian. Kulihat mata Pak Jun tanpa berkedip memandangi
tubuh istriku. Sementara istriku nyaman-nyaman saja berada di situasi seperti
itu.
Hal berikutnya yang kunantikan adalah
apakah istriku akan mengganti sarungnya di depan Pak Jun. Kalau bersama diriku,
dia akan menggantinya di hadapanku. Tetapi, saat itu yang ada di hadapannya Pak
Jun, bukan aku. Akankah dia tetap menggantinya? Aku berharap dia tidak akan
melepas sarungnya di depan Pak Jun.
Akan tetapi, harapanku pudar. Tanpa pernah
sekali pun kubayangkan, Retno begitu saja melepas sarungnya di depan Pak Jun
sambil membelakanginya. Tentu saja Pak Jun bisa melihat mulusnya tubuh Retno
meski dari arah belakang. Aku lihat Pak Jun sangat tergoda dengan pemandangan
itu. Dan, Retno tampak memperlama adegan tersebut. Adakah dia memang sengaja?
Ingin mempertontonkan kemolekan tubunya pada Pak Jun?
Sebagai suami, harusnya aku emosi dengan
pemandangan itu. Tetapi, nyatanya aku malah tidak merasakan emosi apapun.
Justru, harus kuakui, aku merasa terangsang dengan pemandangan istriku bugil di
hadapan lelaki lain.
Tak lama berselang, pemandangan yang lebih
liar tersaji di hadapanku. Tiba-tiba saja Pak Jun berdiri dan melangkah kea rah
istriku. Sedang istriku belum juga mengganti sarungnya. Tak butuh waktu lama,
tangan Pak Jun pun melingkar di perut Retno. Retno terkejut. Dia langsung
berusaha melepaskan diri dari pelukan Pak Jun. Tetapi, dari gerakannya Retno
tidak sepeti bersungguh-sungguh. Selanjutnya yang terjadi, tangan Pak Jun sudah
meraih selangkangan Retno yang dipenuhi jembut. Tangan itu seperti
mengusap-usap vagina istriku. Sementara Retno berusaha memindahkan tangan Pak
Jun, tetapi ia kesulitan.
Kulihat Retno tiba-tiba seperti berbicara
pada Pak Jun. Lalu, wajah Pak Jun berubah kesal dan menghentikan gerakannya di
selangkangan Retno. Retno sendiri tersenyum dan buru-buru memakai sarungnya.
Setelah selesai memakai sarung, Retno pun beranjak pulang. Pak Jun mengikuti di
belakangnya.
Hari sudah semakin gelap. Di area
persawahan, jalan menuju rumah, sudah tidak ada orang sama sekali. Aku harus
segera pulang. Aku harus berada di rumah sebelum Retno tiba. Dengan melewati
jalan pintas, aku pun tiba di rumah terlebih dahulu. Sampai akhirnya, tidak
lama kemudian istriku datang.
“Kenapa lama sekali?” tanyaku.
“Iya. Tadi cucianku ada yang hanyut. Aku
harus mengejarnya dulu.”
“Aku khawatir.”
“Tenang,” jawab Retno. “Tadi Pak Jun sudah
menemaniku mandi.”
“Menemanimu mandi?”
“Iya. Dia tidak sengaja lewat dan aku
memintanya menungguiku sebentar.”
“Oh.” Jawabku.
Meski Retno tidak berbohong perihal Pak
Jun, namun masih ada yang dia sembunyikan dariku. Tetapi, aku hanya diam saja
melihatnya menyembunyikan sesuatu yang mestinya aku tahu.
Kejadian kedua terjadi ketika Pak Kades
datang ke rumahku. Saat itu aku tengah tidak berada di rumah. Aku sedang pergi
ke rumah teman di desa sebelah. Sementara istriku kutinggal di rumah sendirian.
Pukul 8 malam, aku kembali ke rumah. Karena di desa, tentu di jam-jam itu sudah
sangat sepi. Hanya ada satu dua orang lewat di jalan. Jauh sebelum sampai di
depan rumah, kulihat ada sebuah mobil yang terpakir di tepi jalan depan rumah.
Aku mendekati mobil itu dan ternyata adalah milik Pak Kades. Aku pun berpikir,
sedang apa Pak Kades di rumahku? Apa dia sedang ada perlu denganku? Tetapi,
kenapa tidak menghubungiku? Aku pun mulai curiga dengan keadaan ini.
Agar kedatanganku tidak ketahuan, aku
memarkir motorku di dekat pagar samping rumah. Sementara aku sendiri melompat
pagar aga tak ketahuan. Aku mengendap-endap seperti maling. Aku menuju jendela
samping di ruang tamu. Kudengar ada dua orang yang bicara. Dari suaranya
seperti seorang laki-laki dan perempuan.
Aku melongo lewat jendela diam-diam. Dan,
ternyata benar Pak Kades sedang berbincang dengan istriku. Yang membuatku
paling tidak percaya adalah pakaian yang digunakan istriku. Kulihat Retno hanya
memakai sarung yang dililitkan ke tubuh seperti dia sehabis mandi.
“Suamimu pulang jam berapa?” tanya Pak
Kades.
“Biasanya diatas jam 10.”
“Kamu tidak dingin hanya memakai seperti
itu?”
“Ah, gak, Pak. Malah saya gerah.”
“Kalau gerah harusnya tidak usah pakai
apa-apa. Hehehe.” Goda Pak Kades.
“Kalo gitu enak di bapak dong.” Sahut
istriku sembari tertawa. “Oh ya, Pak. Saya pengin minta pendapat bapak.”
“Boleh. Pendapat apa?”
“Begini. Saya kemarin beli baju baru, tapi
rasanya kok kurang cocok ya. Kata suamiku sih cocok-cocok aja. Tapi menurutku
tidak. Makanya, saya coba minta pendapat dari orang lain.”
“Boleh aja. Silakan dipakai dulu.”
Istriku pun beranjak menuju kamar.
Sementara Pak Kades tetap di ruang tamu. Tak beberapa lama, tiba-tiba Retno
memanggil dari dalam kamar. Dia meminta Pak Kades segera menghampirinya. Aku
pun juga bergegas menuju jendela kamarku.
“Ini, Pak. Bukain lemarinya dong. Kok agak
susah ya?” kata istriku.
Pak Kades pun mencoba membukanya. Tanpa
butuh tenaga banyak, lemari itu pun terbuka. Ah, ini pasti cuma akal-akalan
Retno.
“Ini sudah bisa.” Kata Pak Kades.
“Wah, iya. Makasih ya, Pak.”
“Gak cukup makasih aja.”
“Terus apa, pak?”
“Harus ada imbalan lainnya.”
“Imbalan apa sih, pak?”
“Ehm…boleh dong dapat tontonan gratis cewek
ganti baju.” Ucap pak Kades malu-malu.
“Ah, saya malu, Pak.”
“Gak apa-apa kok. Ganti saja.”
Entah apa yang membuat Retno begitu saja
menuruti kata Pak Kades. Dia segera melepas sarung yang membungkus tubunya.
Seketika termpampanglah tubuh mulus Retno yang hanya dibalut celana dalam putih
berenda. Mata Pak Kades langsung terbelalak melihat pemandangan yang menaikkan
gairah itu.
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar