Jumat, 19 Februari 2016

Istriku, Si Primadona Kampung 1



Namaku Hendra, seorang pegawai di kantor desa. Umurku 35 tahun dan sudah menikah, tetapi belum memiliki buah hati. Istriku berumur 5 tahun lebih mudah dariku. Namanya Retno. Istriku memiliki wajah yang cantik dan tubuh sintal yang aduhai.

Tentu saja dengan tubuh seperti itu, banyak lelaki yang tergoda. Sudah sering aku mendapati pemandangan seperti itu. Contohnya saja Pak Kades, yang sering kudapati memandangi bongkahan pantat Retno sehabis menyuguhkan teh di meja. Juga Pak Jun, tukang ronda di desa yang gemar menatap diam-diam payudara montok istriku. Dan, tentu masih banyak lagi yang lainnya.


Istriku sendiri kurasa sudah tahu bahwa dirinya sering menjadi pusat perhatian para lelaki desa. Bahkan kurasa juga dia sangat menikmati dalam situasi seperti itu. Hal ini pernah beberapa kali aku buktikan.

Pertama adalah kejadian di sungai. Karena hidup di desa, kebanyakan dari kami belum memiliki kamar mandi. Kalau pun ada mungkin hanya mereka yang kaya. Tetapi, kebanyakan kami memang lebih suka mandi di sungai. Setiap sore istriku memang selalu pergi ke sungai bersama diriku. Namun, sore itu aku tidak ikut lantaran kurang enak badan. Maka aku biarkan istriku pergi sendiri. Biasanya istriku akan pulang sebelum jam setengah 5 sore, tetapi entah kenapa istriku belum juga datang padahal jam sudah pukul 5. Karena merasa khawatir, aku berinisiatif untuk menyusulnya ke sungai. Sungai di desaku adalah tipe-tipe sungai di kaki gunung, sehingga harus turun melintasi tebing terlebih dahulu. Saat itu suasana sudah sepi sekali. Banyak orang yang sudah kembali ke rumah. Agar tak perlu turun, maka aku menengok isriku dari atas. Ah, ternyata istriku masih ada di bawah. Tapi, tunggu! Dia tidak sendirian. Dia bersama seseorang. Aku tidak bisa melihat siapa orang itu. Tapi, kurasa dia seorang laki-laki.

Aku memilih untuk berganti tempat agar bisa melihat siapa laki-laki lebih jelas. Setelah mendapat tempat yang pas, aku pun tahu bahwa laki-laki itu adalah Pak Jun. Apa yang dia lakukan di sana? Kenapa harus menunggui istriku mandi?

Pak Jun terlihat duduk di tepi sungai di atas sebongkah batu besar. Sementara istriku, kulihat berada di tengah sungai masih membasuh dirinya. Istriku hanya memakai sebuah sarung yang dililitkan ke tubuhnya. Karena basah, sarung itu menempel di tubuhnya dan membuatnya makin tercetak sempurna. Tampaknya mereka berbincang-bincang, namun aku tidak bisa mendengar karena arus sungai yang terlampau deras. Tidak lama kemudian, istriku beranjak dan segera ke tepian. Kulihat mata Pak Jun tanpa berkedip memandangi tubuh istriku. Sementara istriku nyaman-nyaman saja berada di situasi seperti itu.

Hal berikutnya yang kunantikan adalah apakah istriku akan mengganti sarungnya di depan Pak Jun. Kalau bersama diriku, dia akan menggantinya di hadapanku. Tetapi, saat itu yang ada di hadapannya Pak Jun, bukan aku. Akankah dia tetap menggantinya? Aku berharap dia tidak akan melepas sarungnya di depan Pak Jun.

Akan tetapi, harapanku pudar. Tanpa pernah sekali pun kubayangkan, Retno begitu saja melepas sarungnya di depan Pak Jun sambil membelakanginya. Tentu saja Pak Jun bisa melihat mulusnya tubuh Retno meski dari arah belakang. Aku lihat Pak Jun sangat tergoda dengan pemandangan itu. Dan, Retno tampak memperlama adegan tersebut. Adakah dia memang sengaja? Ingin mempertontonkan kemolekan tubunya pada Pak Jun?

Sebagai suami, harusnya aku emosi dengan pemandangan itu. Tetapi, nyatanya aku malah tidak merasakan emosi apapun. Justru, harus kuakui, aku merasa terangsang dengan pemandangan istriku bugil di hadapan lelaki lain.

Tak lama berselang, pemandangan yang lebih liar tersaji di hadapanku. Tiba-tiba saja Pak Jun berdiri dan melangkah kea rah istriku. Sedang istriku belum juga mengganti sarungnya. Tak butuh waktu lama, tangan Pak Jun pun melingkar di perut Retno. Retno terkejut. Dia langsung berusaha melepaskan diri dari pelukan Pak Jun. Tetapi, dari gerakannya Retno tidak sepeti bersungguh-sungguh. Selanjutnya yang terjadi, tangan Pak Jun sudah meraih selangkangan Retno yang dipenuhi jembut. Tangan itu seperti mengusap-usap vagina istriku. Sementara Retno berusaha memindahkan tangan Pak Jun, tetapi ia kesulitan.

Kulihat Retno tiba-tiba seperti berbicara pada Pak Jun. Lalu, wajah Pak Jun berubah kesal dan menghentikan gerakannya di selangkangan Retno. Retno sendiri tersenyum dan buru-buru memakai sarungnya. Setelah selesai memakai sarung, Retno pun beranjak pulang. Pak Jun mengikuti di belakangnya.

Hari sudah semakin gelap. Di area persawahan, jalan menuju rumah, sudah tidak ada orang sama sekali. Aku harus segera pulang. Aku harus berada di rumah sebelum Retno tiba. Dengan melewati jalan pintas, aku pun tiba di rumah terlebih dahulu. Sampai akhirnya, tidak lama kemudian istriku datang.

“Kenapa lama sekali?” tanyaku.

“Iya. Tadi cucianku ada yang hanyut. Aku harus mengejarnya dulu.”

“Aku khawatir.”

“Tenang,” jawab Retno. “Tadi Pak Jun sudah menemaniku mandi.”

“Menemanimu mandi?”

“Iya. Dia tidak sengaja lewat dan aku memintanya menungguiku sebentar.”

“Oh.” Jawabku.

Meski Retno tidak berbohong perihal Pak Jun, namun masih ada yang dia sembunyikan dariku. Tetapi, aku hanya diam saja melihatnya menyembunyikan sesuatu yang mestinya aku tahu.

Kejadian kedua terjadi ketika Pak Kades datang ke rumahku. Saat itu aku tengah tidak berada di rumah. Aku sedang pergi ke rumah teman di desa sebelah. Sementara istriku kutinggal di rumah sendirian. Pukul 8 malam, aku kembali ke rumah. Karena di desa, tentu di jam-jam itu sudah sangat sepi. Hanya ada satu dua orang lewat di jalan. Jauh sebelum sampai di depan rumah, kulihat ada sebuah mobil yang terpakir di tepi jalan depan rumah. Aku mendekati mobil itu dan ternyata adalah milik Pak Kades. Aku pun berpikir, sedang apa Pak Kades di rumahku? Apa dia sedang ada perlu denganku? Tetapi, kenapa tidak menghubungiku? Aku pun mulai curiga dengan keadaan ini.

Agar kedatanganku tidak ketahuan, aku memarkir motorku di dekat pagar samping rumah. Sementara aku sendiri melompat pagar aga tak ketahuan. Aku mengendap-endap seperti maling. Aku menuju jendela samping di ruang tamu. Kudengar ada dua orang yang bicara. Dari suaranya seperti seorang laki-laki dan perempuan.

Aku melongo lewat jendela diam-diam. Dan, ternyata benar Pak Kades sedang berbincang dengan istriku. Yang membuatku paling tidak percaya adalah pakaian yang digunakan istriku. Kulihat Retno hanya memakai sarung yang dililitkan ke tubuh seperti dia sehabis mandi.

“Suamimu pulang jam berapa?” tanya Pak Kades.

“Biasanya diatas jam 10.”

“Kamu tidak dingin hanya memakai seperti itu?”

“Ah, gak, Pak. Malah saya gerah.”

“Kalau gerah harusnya tidak usah pakai apa-apa. Hehehe.” Goda Pak Kades.

“Kalo gitu enak di bapak dong.” Sahut istriku sembari tertawa. “Oh ya, Pak. Saya pengin minta pendapat bapak.”

“Boleh. Pendapat apa?”

“Begini. Saya kemarin beli baju baru, tapi rasanya kok kurang cocok ya. Kata suamiku sih cocok-cocok aja. Tapi menurutku tidak. Makanya, saya coba minta pendapat dari orang lain.”

“Boleh aja. Silakan dipakai dulu.”

Istriku pun beranjak menuju kamar. Sementara Pak Kades tetap di ruang tamu. Tak beberapa lama, tiba-tiba Retno memanggil dari dalam kamar. Dia meminta Pak Kades segera menghampirinya. Aku pun juga bergegas menuju jendela kamarku.

“Ini, Pak. Bukain lemarinya dong. Kok agak susah ya?” kata istriku.

Pak Kades pun mencoba membukanya. Tanpa butuh tenaga banyak, lemari itu pun terbuka. Ah, ini pasti cuma akal-akalan Retno.

“Ini sudah bisa.” Kata Pak Kades.

“Wah, iya. Makasih ya, Pak.”

“Gak cukup makasih aja.”

“Terus apa, pak?”

“Harus ada imbalan lainnya.”

“Imbalan apa sih, pak?”

“Ehm…boleh dong dapat tontonan gratis cewek ganti baju.” Ucap pak Kades malu-malu.

“Ah, saya malu, Pak.”

“Gak apa-apa kok. Ganti saja.”

Entah apa yang membuat Retno begitu saja menuruti kata Pak Kades. Dia segera melepas sarung yang membungkus tubunya. Seketika termpampanglah tubuh mulus Retno yang hanya dibalut celana dalam putih berenda. Mata Pak Kades langsung terbelalak melihat pemandangan yang menaikkan gairah itu.


Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar